Artikel Ilmiah

 

 

 

 

 

HOME

 

GLOBALISASI, SISTEM PEMBELAJARAN DAN INTERNET


Rhiza S. Sadjad
Department of Electrical Engineering Hasanuddin University Makassar INDONESIA 90245

1. Pendahuluan
Era kompetisi global telah usai. Sebagaimana pada akhir darisetiap kompetisi, sudah jelas siapa yang jadi “pemenang” dan siapa yang jadi “pecundang”dalam percaturan antar­bangsa ini. Bangsa Indonesia, mungkin tidak ingin dimasukkan dalam kategori bangsa­bangsa “pecundang”darikompetisi global itu, tapi jelas tidak mungkin juga menempatkan dirinya dalam jajaran para “pemenang”. Kegagalan Indonesia dalam era kompetisi global itu terutama disebabkan oleh ketidak­mampuannya keluardariberbagai krisis multi­dimensi, serta kegagalannya untuk lepas­landas dalam proses industrialisasi yang terjadi pada akhir millenium yang lalu. Salah satu akar permasalahan adalah “kemandekan” yang terjadi selama 30 tahun era Orde Baru, yang berdampak pada tidak terbentuknya suatu sistem nasional dalam semua bidang kehidupan yang sesuai “standar”, dalam arti yang berkualitas, “reliable”, “accountable”, transparan dan “sustainable”, termasuk di antaranya dalam bidang pendidikan. Padahal sistem pendidikan nasional adalah tulang­punggung utama dari pembangunan sumber daya manusia yang merupakan modal utama dalam percaturanglobal. Setelah berlalunya era kompetisi global, maka saat ini kita memasuki era baru, yaitu era kolaborasi (kerjasama) global. Yang paling penting dalam era baru ini adalah “positioning”. Kegagalan kita menjadi “pemenang” pada era kompetisi global yang lalu, menyebabkanposisi kita (sebagai bangsa) dalam menghadapi era baru tidaklah terlalu menguntungkan.

Lebih­lebih jika diingat bahwa sampai sekarang masih saja belum terbentuk suatu sistem nasional seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, untuk menghadapi era yang baru, yaitu era kolaborasi global ini, perlu diberdayakan komponen­komponen sistem dalam aras kelompok atau bahkan individu supaya mendapatkan “positioning” yang menguntungkan. Tidak terkecuali dalam sektor pendidikan. Sambil menunggu terbentuknya sistem pendidikannasional yang sesuai standar, maka upaya­upaya bisa dilakukan oleh kelompok­kelompok atau bahkan perseorangan, untuk membangun berbagai model sistem pendidikan “alternatif” dengan memanfaatkan secara optimal berbagai sarana danprasarana yang tersedia, termasuk Internet. Dengan demikian, insya Allah, keterpurukan bangsa seusai era kompetisi global yang lalu, tidak perlu terulangi lagi pada era kolaborasi global yang baru. Tidak akanberubah nasib suatu bangsa jika setiap individu orang atau kelompok dalam bangsa itu tidak berupaya mengubah nasib dirinya masing­masing terlebih dahulu. Bersikap pasif menunggu terbentuknya suatu sistem nasional, apalagi menunggu datangnya seorang “Ratu Adil”, sama sekalitidak akan menyelesaikanmasalah.


2. Paradigma Baru
Salah satu yang (sepertinya) terlambat di­antisipasi oleh sistem pendidikannasional kita dalam era kompetisi global yang lalu adalah terjadinya pergeseranparadigma dalam sistem pendidikan di dunia ini, sebagaimana telah “diramalkan”oleh Robert B. Barr dan John Tagg belasantahun yang lalu dalam artikel populer mereka berjudul “From Teaching to Learning, A New Paradigm in Undergraduate Education”[1995]. Dalam penyelenggaraan sistem pendidikan konvensional, peserta didik di­sekolah­kan untuk mendapatkan ilmu­pengetahuan yang diberikan oleh guru-guru mereka dalam suatu proses yang disebut “pengajaran”(instruction, teaching). Keberhasilan sistem sekolah ditentukan oleh keberhasilan para guru dan dosen mengajar dalam pengertian men-transfer ilmu­pengetahuan yang mereka miliki kepada peserta didik. Dalam hal ini para guru dan dosen menjadi satu­satunya sumber belajar bagi para peserta didik. Prestasi peserta didik diukur dengan persentase penyerapan materi ilmu­pengetahuan yang disajikanoleh para gurudan dosen. Tentu saja, nilai maksimum “prestasi belajar”dalam sistem pengajaran adalah 100%, karena tidak mungkin seorang peserta didik menyerap ilmu­pengetahuan lebih banyak dari yang disajikanoleh guruatau dosennya. Tidak dimungkinkan dalam sistem sekolah konvensional seorang peserta­didik “lebih pintar” dari gurunya. Seandainya pun bisa, tetap tidak ada ukuran untuk keberhasilan semacam itu, karena tidak ada nilai di atas A atau di atas 100. Dalam sistem pendidikan konvensional, sekolah atau perguruan tinggi adalah lembaga pengajaran (teaching institution), bukan lembaga pembelajaran (learning institution). Secara ringkas Barr danTagg [1995] menuliskan: “A college is an institution that exists to provide instruction. Subtly but profoundly we are shifting to a new paradigm: A college is an institution that exists to produce learning” Walau pun pengamatanBarr danTagg ini pada awalnya hanya terbatas di Amerika Serikat saja, danbanyak juga yang meng­kritik pernyataan mereka - seperti dikemukakan antara lain oleh Schuyler danGwyer [1997] serta Buckley [2002], tapi dengan era kompetisi global yang terjadi pada saat itu, akhirnya pergeseranparadigma ini merebak ke segenap tingkatan sistem pendidikan daripendidikan dasar sampai ke tingkatan perguruantinggi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia (walau pun terlambat di­antisipasi). Sebab denganparadigma lama, ketika peserta didik tidak dimungkinkan untuk melebihi gurudandosennya, maka tidak akan mungkin dihasilkan lulusan sistem pendidikan yang kompetitif. Bagaimana pun para pengajar boleh dikatakan hidup pada “masa lalu”, sedangkan murid­murid mereka harus menghadapi era kompetisi global (pada waktu itu). Sehingga supaya bisa lebih kompetitif setelah lulus, para peserta didik tidak bisa lagi mengandalkan ilmu­pengetahuan yang disajikan oleh guru-guru dan dosen­dosen mereka saja, mereka harus belajar lebih banyak dari itu. Untuk itu mereka harus memanfaatkan apa saja yang tersedia di sekeliling mereka, di lingkungansekolah dan perguruantinggi mau pun di luarnya, sebagai sumber belajar. Dengan demikian, sebagaimana dikemukakanoleh Jones [2000, hal. 22]: “Teaching is  about  providing opportunities for students to learn” Darisinilah kemudianterjadi pergeseran orientasi pembelajarandaripengajar (teacher oriented learning) ke peserta­didik (student-centered learning). Tujuan utama dari pergeseranparadigma ini adalah agar lembaga pendidikan di semua tingkatan berhasil mengantar para peserta didik agar menjadi lulusan yang “kompetitif” di era kompetisi global. Tapi denganberakhirnya era kompetisi global saat ini, tentu lembaga­lembaga pendidikan tidak perlu lagi menghasilkan lulusanyang “kompetitif”. Lantas para peserta didik harus belajaruntuk apa?


3. Empat Pilar Pembelajaran
Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pengembangan pendidikan dan sosial­budaya, UNESCO, pernah membentuk suatu komisi internasional yang disebut The International Commission on Education for the Twenty-first Century(Komisi Internasional mengenai Pendidikan untuk Abad ke 21) yang dipimpin oleh Jacques Delors [1996]. Komisi ini kemudian merekomendasikan dalam laporannya agar proses pembelajaran di seluruh dunia hendaknya diselenggarakan berdasar pada 4 (empat) pilar, yaitu (Delors et.al., [1996], hal. 37):

  1. learn to know
  2. learn to do
  3. learn to be
  4. learn to live toget

Secara bebas dapatlah ditafsirkan bahwa seorang pembelajar ketika melakukan proses pembelajaran, pertama­tama ia akan belajar untuk mengetahui (to know) untuk apa belajar dan bagaimana caranya belajar. Setelah itu ia akan belajar bagaimana melakukan (to do) proses pembelajaran­nya sampai mampu melakukannya sendiri. Sebagai hasil dariproses pembelajaran yang dilakukannya itu, ia pun akan belajar menjadi (to be) sosok yang diinginkannya, dengan segenap kompetensi yang dimilikinya. Dengan demikian ia akan dapat hidup bersama (to live together) – berkolaborasi – dengan orang lain, karena kompetensi yang dimilikinya akan bermanfaat untuk kehidupanini. Secara eksplisit, dalam laporanUNESCO itu telah dinyatakan usainya era kompetisi global, kompetisi yang berkecenderungan saling mengalahkan danmeniadakansatu sama lain, berganti dengan era kolaborasi global sehingga setiap dansemua orang akanhidup bersama di muka bumi untuk saling memberi manfaat dan rahmat bagi orang lain dengan segenap kompetensi yang dimilikinya sebagai hasil dariproses pembelajarannya.


4. Internet sebagai Sumber Pembelajaran
Secara implisit, laporan UNESCO merekomendasikan juga bahwa proses pembelajaran bagi setiap orang harus berlangsung seumur hidup, sebagaimana dinyatakan dalam laporan tersebut (Delors et.al., [1996], hal. 38):
The concept of learning throughout life is the key that gives access to the twenty-first century” sehingga lembaga sekolah, perguruantinggi danlembaga pendidikan formal, informal dan non-formal hanyalah suatu “persinggahan sementara” dalam proses pembelajaran seumur hidup yang dialami seseorang. Dalam “persinggahan sementara” itu, guru, dosen, instruktur dan tutor tidak lagi menjadi satu­satunya sumber pembelajaran (learning resource) utama bagi si pembelajar, melainkan hanya salah satu sumber belajardi samping sumber­sumber belajarlainnya yang disediakan oleh suatu lembaga pendidikan sebagai fasilitas baku, misalnya laboratorium, perpustakaan, tempat kerja­praktek, acara­acara seminar dan konferensi, fasilitas pembelajaranberbasis multi-media, video dan audio-broadcasting, video dan audio-conference danlain sebagainya. Internet adalah salah­satu sumber pembelajaran yang selama belasan tahun belakangan ini terus dikembangkan (Calhoun, [1999]). Dari sekedar tempat mencari informasi yang amat luas dansebagai media komunikasi antar sesama pembelajardi dunia maya tanpa batas­batas ruang dan waktu, sampai ke pengembangan sistem pembelajaran berbasis web, serta LMS (Learning Management Systems), semakin hari peranan Internet dalam proses pembelajaran semakin penting. Sekarang sudah dikenal secara luas berkembangnya suatu konsep pembelajaran berbasis Teknologi Informasi danKomunikasi (TIK) yang disebut e-learning, yang versi on­line­nya harus didukung oleh sambunganInternet. Badan Akreditasi Nasional (BAN) di Indonesia misalnya, pada saat ini telah membakukan penyediaan sarana koneksi Internet dengan kapasitas minimal 1 Kbps per­mahasiswa pada setiap kampus. Seorang peserta didik yang benar­benar akanbelajarsecara intensif, tidak lagi hanya tergantung pada ketersediaanguruatau dosenyang berkualitas saja, melainkan harus mempu meng­optimalkan segenap sumber belajar yang tersedia, termasuk Internet. Teknologi Internet memungkinkan terbangunnya suatu jaringan pembelajaran (learning network) baik antara pembelajar dengan pembelajar lainnya, mau pun antara pembelajar dengan berbagai sumber pembelajaran, yang melampaui batas­batas dinding sekolah, bahkan melampaui batas­batas negara sekali pun. Dengan demikian akan terwujudlah era kolaborasi global dalam sistem pembelajaran, sehingga bagi seorang pembelajar, dunia akan menjadi semacam “kampus global” tempat ia belajar terus­menerus sepanjang hidupnya.


5. Penutup
Pada mulanya sekali ada yang namanya "pengobatan alternatif". Ini tentu saja merupakan pilihan bagi orang sakit untuk mencari cara menyembuhkan dirinya. Secara konvensional, jika sakit, maka kita ke toko obat, cari obat yang cocok untuk menghilangkan (atau setidaknya meredakan) sakit kita. Jika sakit berlanjut, konsultasi dokter. Nanti dokter yang memberikansaran bagaimana selanjutnya, apakah berobat jalan saja, atau rawat inap di rumah sakit. Nah, kalau kita menempuh jalan lain selain jalan yang sudah baku ini, namanya kita mencari "alternatif" lain. Itulah maka disebut "pengobatan alternatif". Dahulu kala, pengobatan alternatif hanya dilakukan oleh "mBah Dukun", tapi sekarang, tidak kurang­kurang juga dokter yang (mungkin tidak terlalu percaya denganapa yang dipelajarinya ketika kuliah) menyelenggarakan "pengobatan alternatif". Bahkan ada seorang dokter yang saya tahu berhenti praktek, lalu membantu suaminya (yang sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan medis) menyelenggarakan"pengobatanalternatif", dan ternyata lebih "laku". Demikian juga di dunia pendidikan, sekarang mulai banyak alternatif. Banyak orang mulai tidak percaya dengansistem pendidikanyang baku, karena sekolah ternyata lebih banyak menghasilkan koruptor daripada pahlawan bangsa. Tahun 1970-andoeloe pernah ada gagasan untuk membangun masyarakat "tanpa sekolah" (Deschooling Society­nya Ivan Illich), bahkan penyanyi rock ada yang pernah berteriak: "hey, teachers, leave the kids alone!!!". Tapi ternyata sekolah tidak pernah terhapus dari kehidupan masyarakat, bahkan kemudian masyarakat sendiri secara kreatif membangun lembaga­lembaga "pendidikan alternatif", sebagai cara lain (atau tambahan) dari bersekolah yang "baku" atau "normal". Makanya ada sekolah­sekolah "alternatif", bisa dalam bentuk "tamanbermain", sampai ke "bimbingan belajar", "pesantren kilat", "home­schooling","boarding­school", "sekolah terpadu", danlain sebagainya. Rupanya masyarakat modern memang tidak bisa dipaksa supaya monotonik, harus selalu ada alternatif. Sebab kalau tidak punya alternatif, orang "modern" bisa "stress" katanya. Makanya ada juga bahkan yang punya "isteri alternatif", dan "suami alternatif", seperti adanya "WIL" dan"PIL" itu. Ketika jalan sedang macet total, maka orang pun mencari "jalur alternatif", yang berupa jalan­jalan kecil berkelok­kelok tapi bebas macet. Dalam politik juga orang tidak suka "calon tunggal" lagi seperti doeloe, harus ada "calon alternatif". Sekarang lagi jamannya BBM naik harganya, maka orang pun ribut­ribut mencari "sumber energi alternatif", sampai­sampai ada yang namanya "Blue Energy" yang tidak ada hubungannya dengan "segitiga biru" itu. Lantas jika yang namanya "negara" juga tidak beres mengurus warganya, sehingga bukannya tambah sejahtera, malah tambah banyak yang miskin, bukannya tambah cerdas, malah tambah jahil, mungkin perlu juga dipikirkan adanya "negara alternatif", bagaimana? Kalau mencari "pemerintah alternatif"sih gampang, tunggu saja PEMILU yang tinggal setahun lagi (kalau jadi), di situ kita bisa mengusung "pemerintahan alternatif" sebagai pilihan lain dari yang "incumbent". Banyak yang mau, dan sudah banyak juga yang meng­kampanye­kan dirinya, menghabiskan uang milyaran sekedar untuk menjadikan dirinya "calon pemimpin alternatif". Doeloe pernah ada gagasan "negara alternatif", seperti misalnya ada yang namanya DI­TII, NII, RMS, GAM, danlain­lain, tapi semua ditumpas habis, karena katanya tidak sesuai dengan "kesepakatan" bersama, yaitu NKRI, yang sudah “final”. Lama-lama, mungkin akan diperlukanjuga "kehidupan alternatif”. Misalnya kalau sekarang kita hidup di "dunia nyata", mungkin alternatifnya kita bisa ganti hidup di "dunia maya" misalnya, atau di "dunia gaib", alias "paranormal"! Begitukah?
Wallahu 'alam bishawwab.


Makassar, 6 Juli 2008.
DAFTAR PUSTAKA
Barr, Robert B. and John Tagg, [1995], “From Teaching to Learning, A New Paradigm in Undergraduate Education”, http://critical.tamucc.edu/~blalock/readings/t ch2learn.htm (diakses 6 Juli2008)
Buckley, Donald P., [2002], “In Pursuit of the Learning Paradigm”, EDUCAUSE Review, Jan./Feb. 2002 Edition.
Calhoun, Terry, [1999], “WWWdevShare and WWWdev: Internet Teaching and Learning Resources from Indiana University and the University of New Brunswick”, The Technology Source Archieves at University of North Carolina,
http://technologysource.org/article/ (diakses 6 Juli 2008)
Delors, Jacques, et.al., [1996], “Learning the
Treasure Within”,
http://www.unesco.org/delors/index.html
(diakses 6 Juli2008)
Jones, Malcolm J. (ed), [2000], “Curriculum Development”, EEDP DGHE, Jakarta.Schuyler and Gwyer, [1997], “A Paradigm
Shiftfrom Instruction to Learning”, http://
www.ericdigests.org/1998-2/shift.htm
(diakses 6 Juli 2008)

*) Makalah untuk disampaikan pada “Workshop dan Pelatihan Internet”, Sanggar Telematika e-SKa, MTC Karebosi, Makassar, 13 Juli 2008

Kembali ke Daftar Judul Tulisan Online

 

Created By M.Sutarno@2009, email : nelan_indah@yahoo.com

Free Web Hosting